Taplak Meja, Gudeg Yogya, hingga Transformasi Birokrasi yang Fundamental

By Admin


nusakini.com- Yogyakarta- Yogyakarta memang menyimpan berjuta kenangan. Tak terkecuali bagi Syafruddin, yang kini menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB). Meski kota itu kini sudah berubah menjadi modern, namun tetap kental dengan budaya dan kearifan lokal. Transformasi fundamental tampak nyata di Kota yang pernah menjadi Ibukota Indonesia pada 5 Januari 1946 ini. 

“Saya senang tiba di Yogyakarta, mengingatkan kenangan saat berdinas di Jawa Tengah dulu. Saya sering datang ke yogya untuk makan gudeg sambil menikmati suasana kota, yang kini terlihat berubah modern dan menakjubkan, di bawah kepemimpinan Sri Sultan Hemengku Bawana X,” kisahnya saat menjadi keynote speaker dalam Rapat kerja Pengendalian Pembangunan Daerah Triwulan III Tahun 2018 di lingkungan Pemerintah DIY, Selasa (23/10). 

Mantan Wakapolri ini menilai, suasana kota pelajar khususnya jalanan Malioboro yang mirip Istanbul – Turki atau Kyoto – Jepang, yang menampilkan sisi modern namun tetap kental dengan budaya dan kearifan lokal. “Saya ingin mengutarakan petikan inspirasi atas perubahan yang baik ini, karena sejalan dengan transformasi birokrasi yang mendorong hadirnya negara untuk membangun kesejahteraan rakyat,” tutur pria kelahiran Makassar, 12 April 1961 ini. 

Berawal dari kebiasaan orang Perancis yang membentangkan kain wool sebagai penutup meja tulis, yang disebut burel. Sebutan ini kemudian berubah menjadi bureau, bagi setiap orang yang menulis di atas kumpulan meja secara bersama. Cara kerjanya yang saling berbagi peran, diistilahkan bureaucratie, birokrasi, sedangkan orang - orang yang terlibat disebut para birokrat, yang menjalankan sistem itu.   

Tabiat birokrat ini sangat rumit, segala hal menjadi berbelit dan berkelok - kelok karena dari meja yang satu ke lainnya, saling membentur tembok. Akhirnya untuk menembus tembok itu, mulai disusupkan sistemnya dengan suap, atau jika diinginkan birokrat dan masyarakat, disebutlah pungli. 

Sekarang, lanjut Menteri, seiring berubahnya jaman, tuntutan masyarakat semakin berubah. Transparansi menguat, pelayanan publik pun semakin diharapkan memudahkan urusan masyarakat, praktik suap dan pungli menjadi musuh bersama, publik juga mengharapkan unsur pelayanan pemerintah yang berbelit makin dipangkas. Ke depan, yang dibutuhkan adalah kecepatan, cepat melayani, cepat beradaptasi, cepat mengadopsi hal baru, cepat mengejar ketinggalan. “Inilah kunci sukses untuk menjadi bangsa pemenang, bangsa yang berdaya saing tinggi. Melakukan reformasi sistem yang sejalan kecepatan teknologi dan informasi, dan bila landscape kehidupan sudah berubah demikian drastisnya, birokrasi harus didorong melalui transformasi yang fundamental. 

Menteri mengatakan bahwa transformasi yang fundamental tampak nyata dari perubahan di Yogyakarta, yang dulu pernah menjadi Ibukota Indonesia. Adanya hubungan langsung dengan pemerintah pusat, maka hingga sekarang pemerintah setempat “mewariskan gen” berupa sistem, struktur, kultur dan sumber daya birokrasi yang identik melekat pada “jantung” tata kelola pemerintahan negara.

Istilah birokrasi tak lepas dari sistem pemerintahan di dunia. Mulai dari perkara politik hingga hal paling pertama yang dilakukan sejak lahirnya seorang manusia, yaitu pembuatan akta kelahiran, hingga orang meninggal dunia adalah bagian dari rantai birokrasi. 

Meski sudah sering diucapkan, namun masih banyak yang belum paham bahwa kata birokrasi yang erat berkaitan dengan sistem kekuasaan, sebenarnya erat kaitannya dengan kisah penutup meja (taplak meja) tulis, yang di Perancis disebut burel. Masyarakat Perancis, kisah Syafruddin, di sekitar era renaisance terbiasa membentangkan kain wol sebagai penutup meja tulis, yang disebut burel. Seiring waktu, sebutan itu berubah menjadi bureau, yang merujuk pada kegiatan orang yang menulis di atas meja secara bersama-sama. Dalam Bahasa Indonesia, birokrasi berasal dari kata bureau (Bahasa Perancis) yang berarti meja tulis, dan cratein (Bahasa Yunani) yang berarti pemerintah. 

Sistem kerja dalam birokrasi saling berbagi peran, dan diistilahkan bureucratie. Sedangkan individu yang terlibat dalam sistem itu disebut bureaucrat atau birokrat. “Tabiat birokrat ini sangat rumit, segala hal menjadi berbelit dan berkelok dari meja satu ke meja lain, saling membentur tembok,” cerita Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Syafruddin, saat Rapat Kerja Pengendalian Pembangunan Daerah, di D.I Yogyakarta, Selasa (23/10). 

Di depan pemimpin Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sultan Hamengkubuwana X, Menteri Syafruddin melanjutkan kisahnya tentang sejarah birokrasi. Kembali ke perkara proses yang berbelit dan membentur tembok, akhirnya untuk menembus tembok itu, sistem mulai disusupkan suap dengan sesuatu yang dibutuhkan para birokrat. Bagi kebiasaan masyarakat Indonesia, suap disebut juga pungutan liar atau pungli. 

Bertahun-tahun, masyarakat Indonesia bahkan dunia, terjebak dalam proses birokrasi yang rumit dan jauh dari efisien. Bahkan untuk urusan yang jadi hak dasar masyarakat seperti kartu identitas dan surat izin pun, tak jarang masyarakat diminta ‘uang pelicin’ agar urusan tersebut cepat selesai. Stigma tentang birokrasi yang tidak bersih pun bersarang dalam pikiran masyarakat. 

Angka masehi pun berganti, seiring tuntutan masyarakat yang juga berubah. Di era modern yang serba digital, transparansi akan sistem pemerintahan menguat, termasuk tentang pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah. “Pelayanan publik pun semakin diharapkan memudahkan urusan masyarakat. Praktisi suap dan pungli menjadi musuh bersama,” ujar mantan Wakapolri ini. 

Menurutnya, publik mengharapkan pelayanan publik tidak berbelit, birokrasi semakin dipangkas. Yang dibutuhkan masyarakat modern ini adalah kecepatan melayani, kecepatan adaptasi dan adopsi hal baru, serta cepat mengejar ketertinggalan. Di sinilah perlunya akselerasi sebagai kunci sukses sebuah negara untuk menjadi bangsa pemenang yang berdaya saing tinggi. “Pemerintah pun harus melakukan reformasi sistem yang sejalan dengan teknologi dan informasi. Bila landscape kehidupan sudah berubah demikian drastisnya, birokrasi harus didorong melalui transformasi yang fundamental,” tegas Menteri Syafruddin. 

Salah satu contoh, adalah transformasi fundamental yang dilakukan di Yogyakarta yang pernah menjadi Ibukota Indonesia pada 5 Januari 1946. Karena hubungan langsung dengan pemerintah pusat di zaman itu, maka hingga sekarang pemerintah setempat ‘mewarisi gen’ berupa sistem, struktur, kultur, dan sumber daya birokrasi yang melekat pada jantung tata kelola pemerintahannya. 

Syarat utama tercapainya prioritas pembangunan di pusat dan daerah adalah tata kelola pemerintah. Kuncinya tak hanya terletak pada reformasi birokrasi yang modern, tapi lebih dari itu. “Sekali lagi saya ulang, yaitu meletakkan pondasi kebangsaan untuk memenangkan persaingan global,” imbuhnya. 

Dalam hal ini, negara bertugas menyiapkan birokrat muda yang mampu memenangkan persaingan global. Di tingkat nasional, pemerintah fokus pada perbaikan birokrasi, peningkatan kualitas Aparatur Sipil Negara (ASN), percepatan pelayanan publik yang berkualitas, serta peningkatan akuntabilitas dan efektivitas kerja birokrasi. 

Dengan fokus terhadap poin-poin tersebut, perbaikan demi perbaikan akan tercapai. Sekarang hingga masa mendatang, perbaikan tata kelola pemerintahan yang bertumpu pada reformasi birokrasi akan melahirkan percontohan untuk diwariskan kepada generasi penerus. Kini, Indonesia sedang dalam masa transisi dan perbaikan sistem yang menjauh dari ‘birokrasi membentur tembok’ seperti di Perancis kala itu.(p/ab)